I like to think of myself as a learner. There are so many things I have yet to learn. General knowledge to others is sometimes completely new to me. Imagine growing up in a small village in Indonesia with no books, no libraries, and no electricity. I learnt how to read, write, and count but never saw a "fraction" till I was 13 years old – as a first year in junior high school. 

I grew up speaking three languages, Makassar (Mum’s language), Bugis (Dad’s language), and Bahasa Indonesia (the national language). As a child, Dad would sometimes laugh at me for mixing up my words. The lack of formal Makassar and Bugis lessons at school fortunately did not hinder me from improving my incoherent speaking skills. I can proudly now say that I am proficient in all three languages. 

I come from humble beginnings. My family was what one would consider both economically and demographically disadvantaged. We didn’t have a steady water supply, and tap water and water tanks were foreign concepts. Every weekend, my siblings and I would walk 3-4 km to a neighbouring village’s well with the week’s dirty laundry wrapped in a sarong (Indonesian cloak). We would hand wash our clothes and wait for them to dry before heading back home in the afternoon. Every night, we would wake up to scavenge for water. The limited number of freshwater wells in our village meant that we had to collect water past midnight, when less people – competition – were around. Bad drainage and living across a river meant that we experienced flash flooding every rainy season. 

My father was a primary school teacher with a very low salary. Meanwhile Mum was a full-time housewife (she didn’t even finish primary school). I have four brothers and four sisters. We lived in a place that one could barely call a house – plywood walls on earthen floors and a tin roof. I shared a double bed with four of my siblings. In the mornings, I often found myself on the floor (never my siblings, always me) with my hair covered in sand. Nevertheless, I never complained. I would immediately get up and skip down to the river to clean my hair. 

In my mind, I was never all that disadvantaged. I grew up in an environment full of happiness. I would swim in the river with my friends, never worrying about what lurked in the dirty waters. At the age of 12, I graduated from two schools simultaneously, my morning public school and my afternoon religious school (madrasah). I had plenty of exercise as a child. In addition to swimming every morning and afternoon, I had to walk 12 km to get to my high school. I didn’t have a water bottle, lunch box, or any pocket money. While it meant I had no food at school, it also meant that I didn’t eat unhealthy street food. I didn’t have any textbooks but I learnt what I could from what my teachers said. 

Albeit having been faced with many disadvantages, I believe that I have been blessed with just as many advantages in life. I grew up in a happy, humble, honest, and poor yet resilient family. I was extremely lucky to have received scholarships to fund my bachelor, masters, and doctoral degree. I encountered many challenges and made plenty of mistakes throughout my degree, but I also managed to overcome them. I see the titles that I have received (S.Pd., M.Pd., Ph.D), not as trophies for my educational achievements, but instead as evidence of being a true learner. Reflecting back on my learning journey, I believe that being a true learner means to not be afraid to face new challenges, make mistakes, and learn from those mistakes.

More information about me, see this link.

Saya selalu memposisikan diri sebagai pebelajar. Ada banyak hal yang belum saya pelajari. Pengetahuan umum bagi orang lain terkadang menjadi pengetahuan yang benar-benar baru bagi saya. Bayangkan dibesarkan di sebuah desa kecil di Indonesia tanpa buku, tanpa perpustakaan, dan bahkan tanpa listrik. Saya belajar membaca, menulis, dan berhitung tetapi tidak pernah tahu pecahan hingga saya duduk di kelas 1 SMP, saat saya berusia 13 tahun. 

Sejak kecil, saya menggunakan tiga bahasa: Makassar (bahasa Ibu), Bugis (bahasa Ayah), dan Bahasa Indonesia (bahasa nasional). Ayah terkadang menertawakan saya karena saya membuat kosa kata baru dengan cara mencampuradukkan suku kata bahasa Bugis dan Makassar. Kurangnya pelajaran formal bahasa daerah di sekolah tidak menghalangi saya untuk memahami bahasa daerah tersebut. Sekarang, saya dengan gembira dapat mengatakan bahwa saya dapat menggunakan dua bahasa daerah dan Bahasa Indonesia dengan lancar. 

Saya berasal dari keluarga yang sangat terbatas. Keluarga saya dipandang sebagai keluarga kurang beruntung baik secara ekonomi maupun geografis. Kami tidak memiliki persediaan air yang stabil. Air keran (PDAM) dan tangki air adalah konsep yang asing bagi kami. Setiap akhir pekan, saya dan saudara-saudara saya harus berjalan 3-4 km menuju sumur di desa tetangga dengan membawa cucian kotor yang terbungkus kain sarung. Kami mencuci pakaian dengan tangan dan menunggu sampai kering sebelum kembali ke rumah pada sore hari. Setiap malam, kami bangun untuk mencari air tawar. Terbatasnya jumlah sumur air tawar di desa kami membuat kami harus mengambil air tengah malam atau dini hari ketika tidak banyak orang yang mengantri. Saluran air yang buruk dan tinggal dekat sungai membuat kami sering mengalami banjir bandang setiap musim hujan. 

Ayah saya adalah seorang guru sekolah dasar dengan gaji yang sangat rendah. Sementara Ibu saya adalah ibu rumah tangga (dia bahkan tidak menyelesaikan sekolah dasar). Saya memiliki empat saudara laki-laki dan empat saudara perempuan. Kami tinggal di rumah yang berdinding tripleks dan berlantai tanah. Saya bersama empat saudara saya tidur di satu ranjang yang sempit sehingga pada pagi hari, saya sering menemukan diri saya di tanah dengan rambut yang penuh pasir, karena jatuh dari ranjang. Meskipun demikian, saya tidak pernah mengeluh. Saya segera bangkit dan berlari ke sungai untuk membersihkan rambut saya. 

Dalam pikiran saya, saya tidak pernah merasa tidak beruntung. Saya tumbuh di lingkungan yang penuh dengan kebahagiaan. Saya berenang di sungai dengan teman-teman saya di pagi dan sore hari, tidak pernah khawatir dengan kotornya air sungai. Pada usia 12 tahun, saya lulus dari dua sekolah secara bersamaan, sekolah dasar negeri di pagi hari dan sekolah madrasah di sore hari. Sebagai anak-anak, saya banyak berolah raga. Selain berenang setiap pagi dan sore, saya harus berjalan kaki 12 km pulang pergi ke SMP di kota. Saya tidak pernah dibekali makanan/minuman ataupun uang saku. Walaupun ini berarti saya tidak punya makanan ketika di sekolah, tetapi itu juga berarti bahwa saya tidak makan jajanan yang tidak sehat. Saya tidak punya buku pelajaran (textbook) tetapi saya belajar sebisa saya dari yang disampaikan guru saya. 

Meskipun dihadapkan dengan banyak keterbatasan, saya percaya bahwa saya telah diberi banyak rejeki dalam hidup saya oleh Sang Maha Pencipta. Saya tumbuh dalam keluarga yang bahagia, sederhana, jujur, dan tangguh di tengah keterbatasannya. Saya sangat beruntung mendapatkan beasiswa untuk sekolah sarjana, magister, dan doktoral saya. Saya menghadapi banyak tantangan dan mengalami banyak kelemahan selama menempuh pendidikan, tetapi Alhamdulillah saya berhasil mengatasinya. Saya percaya bahwa gelar yang saya peroleh (S.Pd., M.Pd., Ph.D) bukan semata prestasi pendidikan tetapi lebih dari itu sebagai bukti pebelajar sejati. Merenungkan kembali perjalanan pendidikan saya, saya percaya bahwa menjadi pebelajar sejati berarti tidak takut menghadapi tantangan baru, tidak takut berbuat salah dalam proses belajar, namun belajar dari tantangan dan kesalahan tersebut.

Informasi tambahan tentang saya bisa lihat link ini.